Aku, Omar Hen
(sebuah apologi)
Oleh: Hujan
Pelarian ini begitu melelahkan. Betul, kupikir-pikir demikian. Aku, Omar Hen, bapakku langit dan ibuku bumi. Puluhan tahun aku sudah berlari, melarikan diri dari identitasku sendiri.
Aku sudah lelah untuk berlari dan sembunyi. Tapi kenyataannya, sekarang aku sudah letih. Dan tak punya semangat lagi untuk melanjutkan kesendirianku.
Aku kesepian. Di dalam pelarianku, aku kesepian. Omar Hen, anak langit dan bumi ini kesepian sepanjang jaman.
Didalam pengasinganku, aku selalu berpikir, kenapa ini semua aku lakukan? Apakah aku begitu pegecut untuk menghadapi kenyataan, sehingga harus memutuskan membunuh diri dan hidup menjadi orang lain, orang lain yang hingga hari ini masih asing dan agaknya akan terus terasa asing. Oh Tuhan, aku Omar Hen, lelaki sepuh dan misterius. Lelaki yang tak mengerti apa sebenarnya yang ingin kucari.
Dulu aku pernah buat kesalahan. Tapi kesalahan itu tak begitu saja menjadi alasan untukku pergi melarikan diri. Mungkin kesalahan itu fatal. Dan itu membuatku menjadi orang yang tidak percaya pada siapapun, bahkan pada diri sendiri. Kesalahan itu membuatku hilang dalam kesuraman sejarah masa silam. Aku kesepian. Aku Omar Hen, hanya berteman pada langit yang menjadi bapakku, dan bumi yang menjadi ibuku.
“Kau harus selesaikan permainan ini Omar,”
“Belum saatnya,”
“Kau harus pulang,”
“Nanti saja,”
“Kau sudah renta Omar, tak pantas lagi untuk sembunyi, sudahlah, kau pasrah saja,”
“Tidak, aku masih kuat. Aku masih kuat untuk berlari dan menemukan tempat persembunyian baru lagi,”
“Kau mesti menyerah, dunia sudah berubah, semua sudah terdokumentasi pada relif tertatah. Sejarah tinggal sejarah. Semua orang sudah melupakanmu, melupakan kebodohanmu,”
Aku terdiam. Bayangan masa silam itu menghampiriku.
Aku, Omar Hen, bapakku langit ibuku bumi. Sekarang aku dipaksa menyerah dan menanggung malu pada diri sendiri? Tidak! Aku harus bertahan, menyembunyikan rahasiaku, serapat mungkin. Bahkan dari kemungkinan bayangan masa silam yang berkhianat.
“Aku Omar Hen yang asli!”
“Kau?”
“Iya,”
“Gila!”
“Aku tidak gila, kalian salah, aku tak pernah mati, aku selalu hidup dan terus berperang melawan diri sendiri!”
“Mana mungkin. Omar Hen sudah tewas berpuluh tahun yang lalu. Sekarang, bahkan dia telah menjadi pahlawan. Pahlawan di hati rakyat semesta. Kau, orangtua, jelek dan pikun, pulanglah, dan simpan ocehan subversifmu itu,”
Sejak itu, aku tak berani lagi mengaku sebagai si Omar Hen yang asli, Omar Hen yang berbapakkan langit dan beribukan bumi, pendekar negeri, yang gagal dan melarikan diri saat revolusi terhenti. Sebab bila aku berani mengaku sebagai aku lagi, maka mereka akan segera memasukkan ke dalam bui. Aku diancam, aku dipaksa untuk tidak mengaku, bahwa aku adalah aku, sekian puluh tahun yang lalu.
“Omar Hen itu pemberani, dia menentang iblis kapitalis dengan seorang sendiri,”
“Betul, dia mengorbankan dirinya, demi rakyat semesta,”
“Tak mungkin dia masih hidup,”
“Dia sudah mati, mati dalam keadaan terhormat dan dengan rasa khidmat yang tinggi pada tanah dan air,”
“Omar Hen adalah pahlawan di hati kami,”
“Jangan ganggu, dan coba mengaku-aku,”
“Omar Hen sudah mati, buku sejarah manapun menuliskan itu,”
“Dia pahlawan yang menghilang bersama keberaniannya, namun semangatnya tetap ada dan hadir di hati kami,”
“Sana, pergi!”
“Pergi, atau kami panggil polisi,”
Sepertinya, aku memang ditakdirkan sendiri. Menjadi zombie, keliaran bebas sebagai Omar Hen yang terus berlari, entah dari apa.
“Kalau kau memang Omar Hen, muncullah dan mengaku saja,”
“Omar Hen itu satria, dia bukan pengecut. Paling tidak begitulah kata sejarah,”
Aku paling tahu siapa Omar Hen. Sebab aku, Omar Hen yang berbapakkan langit dan beribukan bumi, adalah pendekar penentang iblis kapitalis. Aku masih ingat pertempuran itu. Meski sudah berpuluh-puluh tahun, aku masih ingat dengan jelas sekali. Lebih jelas dari sejarah yang dituliskan pusat dokumentasi negeriku sendiri. Bagiku, penulis sejarah tentangku sama sekali tak mengenalku.
Baiklah, aku Omar Hen, bertanggung jawab meluruskan kesalahan itu. Tapi bagaimana bisa? Sekarang, untuk mengaku saja aku tak bisa. Aku dipaksa untuk menutup mulutku ini. Padahal, berpuluh tahun yang lalu, apapun yang keluar dari mulutku ini selalu di dengar rakyat semesta. Oh Tidak. Benarkan aku bukan Omar Hen? Omar Hen yang berbabakkan langit dan beribukan bumi. Omar Hen yang bertarung melawan iblis kapitalis. Omar Hen yang tiba-tiba menghilang, bahkan dari ingatanku sendiri.
Aku pernah berpikir untuk membawa mati rahasia ini. Tapi tidak mungkin. Apa kata bumi, jika nanti mereka menerima jasadku, sementara rahasia yang selama ini selalu turut kemana aku pergi belum juga dibongkar. Apa kata langit yang akan menerima rohku, jika aku datang padanya, dalam keadaan nista? Tidak istikomah. Tidak sesuai dengan arah sejarah?
Aku tak pernah lagi berpikir untuk membawa mati rahasia ini. Aku harus mencari seseorang yang mau mendengar kisahku, yang mau percaya bahwa aku adalah Omar Hen, si anak hilang yang dianggap mati dan diberi gelar pahlawan.
Tapi siapa? Siapa yang sudi mendengar kisahku ini? Hantu? Hantu teman-temanku? Teman-temanku seperjuangan yang telah mati, namun tak mendapatkan gelar apapun dari sejarah? Sungguh aku tak mau membuat mereka kecewa dua kali. Aku tak akan mengisahkan ini kepada mereka. Mereka lebih tahu apapun soal sejarahku dibandingkan aku sendiri.
Kisah ini harus kubongkar! Tidak bisa tidak! Semuanya harus jelas. Sekarang aku sudah mau mati. Aku mau pergi dalam keadaan bersih. Aku mau ada orang yang mendengarkan kisahku. Mengakui bahwa akulah si Omar Hen, anak langit dan bumi yang pergi bertempur melawan iblis kapitalis, namun hilang…
Iya, aku ingat sekarang. Aku ingat ada di mana aku saat pertempuran itu terjadi. Aku melihat teman-temanku pergi menyerahkan kepalanya. Iya, mereka pergi dengan harapan bisa memenangkan pertempuran lewat pengorbanan mereka. Ah… tapi di mana aku?
Aku tak melihat diriku diantara mereka. Ah… ada di mana aku? Mengapa aku tak ada di sana pada saat eksekusi mati dilakukan kepada teman-temanku. Aku, aku menghilang… aku menghilang di dalam ingatanku. Oh, Tuhan, aku Omar Hen. Bagaimana mungkin aku melupakan bagian yang itu? Bagian yang menentukan apakah aku ini seorang pejuang atau pecundang.
Betul-betul aku tak bisa mengingat itu. Tapi aku mau mengisahkan ini semua kepada orang lain. Aku berjanji akan mengisahkan seluruh peristiwa menyeramkan itu semua, tanpa ada yang dikurang-kurangi dan ditambah-tambahi.
Namun, untuk bagian itu, bagian di mana aku berada saat maut menghampiri teman-temanku, aku tak bisa mengisahkannya. Ini bukan sesuatu yang harus ditutupi. Ini bukan hal yang memalukan. Mereka mati dan aku hidup. Bukan itu ukuran pahlawan dan pecundang. Hanya saja, aku memang tak dapat mengisahkannya. Aku lupa. Itu saja.
Aku tidak ingat dimana aku. Lupa itu hal wajar. Jangankan satria, presiden pun bisa lupa.
Pelarian ini begitu melelahkan. Aku ingin jujur, tapi tak ada yng mau mengerti dan menghargai kejujuranku. Agaknya hari ini rakyat semesta sudah tak lagi percaya dengan fakta. Atau jangan-jangan, mereka sudah tak bisa membedakan mana fakta, mana kebohongan belaka. Ah aku tak ambil pusing soal itu.. Sekarang yang aku pusingkan adalah, aku ingin mati dengan keadaan bersih. Sebersih bayi yang tak memiliki catatan sejarah apapun, kejahatan apapun, kecuali membuat sang ibu sakit dan terluka saat melahirkan.
“Mumpung sejarah kita masih carut marut, kau mengaku sajalah,”
“Aku mau, tapi bagaimana caranya?”
“Kau bisa buat buku sendiri. Sejarah dalam versimu,”
“Sejarah dalam versiku?”
“Tentu saja. Semakin kontroversial, maka bukumu akan semakin laku. Dan itu akan menjadikan kau seagai jutawan baru. Bayangkan, jutawan baru!”
“Hantu kau! Pergi!”
Tiada sesuatu apapun yang ada di balik niat pengakuanku ini. Demi bapakku langit dan ibuku bumi. Aku hanya ingin mengaku, agar semuanya jelas. Agar aku bisa mati dengan sukses. Tenang dan damai.
Aku mengaku karena aku ini adalah Omar Hen. Sosok yang selalu dirindukan, dan dinantikan kehadirannya.
“Tak ada yang menantikanmu bodoh!”
“Sudahlah, kau itu sudah mati. Lebih baik bagimu, kalau kau menganggap semuanya sudah seperti ini,”
“Kau hanya akan memerumit jalannya sejarah,”
“Pengakuanmu hanya akan membuat pengagummu berubah menjadi benci,”
“Kau akan kehilangan penggemar,”
Stop! Berhenti! Aku mengaku karena aku Omar Hen. Aku tak takut apakah nantinya akan ada orang yang merasa tertipu dengan sejarahku. Biarkan saja. Ini semua akan menjadi sejarah baru. Sejarah yang akan selalu diingat bahwa Omar Hen tidak mati. Omar Hen hidup. Namun…
“Hahaha, kenapa kau masih hidup? Kau takut mati ya?”
“Tidak, aku tidak takut. Aku mengerti harga yang harus kubayar,”
“Lantas mengapa kau tak mati?”
“Aku tak mati karena aku menghilang,”
“Kau? Menghilang? Menghilang kemana?”
“Aku menghilang,”
“Kemana?”
“Aku… aku menghilang… begitu saja,”
“Hahaha….Penipu, pengecut!”
Namaku Omar Hen. Aku masih berlari, dari kisah hidupku sendiri. Sebenarnya aku sudah lelah dan ingin mati. Tapi tak bisa. Bukan apa-apa, sebab belum ada orang yang sudi mendengar pengakuanku.
Aku Omar Hen yang asli. Sekian puluh tahun aku berusaha keras menguak kisah ini. Tapi tak bisa. Aku tak berani.
Palmerah, 13 Agustus 2008