Lelaki Hujan
Setiap kali hujan turun, gerimis ataupun lebat, dengan atau tanpa gelegar petir yang menyambar-nyambar serta angin yang bertiup kencang, lelaki itu selalu berjalan dengan santai di bawahnya. Dengan tangan di dalam saku celana, dengan tubuh dan pakaian yang basah kuyup sampai ke dalam ia melangkah ringan seperti tidak terjadi apa-apa. Dari mulutnya terdengar ia bersenandung lagu yang sangat disukainya, just walking in the rain ...
Setiap pasang mata yang melihatnya hanya bisa membelalak, menggeleng-gelengkan kepala, menyerngitkan dahi, atau bergumam pelan,
“ Barangkali orang gila.”
“ Ah, masa! Orang gila begitu rapinya?.”
“ Seseorang tidak harus compang-camping untuk jadi gila, ‘kan?.”
Tapi apapun kata orang, laki-laki tersebut tidak pernah peduli. Dia tetap melenggak-lenggok dalam hujan dengan santainya, seperti tidak terjadi apa-apa. Dengan tangan di dalam saku, dan bersenandung lagu yang sama, just walking in the rain ...
Alasan laki-laki itu menyenangi hujan sederhana saja, namun bagi banyak orang di sekitarnya mungkin terdengar aneh bahkan gila. Dia selalu merasa kasihan pada hujan!
“ Kasihan dengan hujan? Apa maksudmu?,” tanya kekasihnya suatu kali ketika ia datang untuk makan malam dengan pakaian yang basah kuyup.
“ Iya, aku merasa orang-orang di bumi ini kurang adil terhadap hujan.” ujarnya dengan gigi gemeretak menahan dingin.
“ Kurang adil bagaimana?.”
“ Coba kau perhatikan, setiap kali hujan datang orang-orang lari ketakutan, berteriak-teriak histeris, berusaha sekuat tenaga menghindarinya seakan-akan ia adalah monster menakutkan yang akan menelan mereka. Padahal mereka tidak pernah melakukannya ketika panas terik melanda. Dan yang membuatku lebih merasa kasihan lagi pada hujan adalah orang-orang selalu saja mengumpatnya, ‘ sialan, hujan! bagaimana aku pergi ke kantor, sudah telat, nih.’ ‘ Aduh, hujan! batal, deh kencanku, brengsek!’ ‘ Hujan lagi ... hujan lagi, bagaimana pakaianku bisa kering, sudah dua hari, nih hu ... hu ...’ ‘ Brengsek, hujannya deras sekali, pasti banjir lagi, sialan!’. Padahal ketika udara panas paling-paling mereka berkata, ‘panas sekali, ya hari ini! ‘mereka tidak berlari kesana-kemari menghindarinya, berebut berdesakan di halte bus, di bawah jembatan, atau di emperan toko untuk berteduh darinya. Apa salah hujan pada mereka sehingga ia sangat tidak di harapkan kedatangannya?. “
“ Tidak juga. Buktinya orang-orang selalu merindukan hujan ketika panas sudah mencapai puncaknya. Dengan berbagai cara, baik mistik maupun dengan teknologi tinggi, mereka mencoba mendatangkan hujan untuk mengairi kembali sawah-sawah dan tanah mereka yang kering kerontang.”
“ Tapi setelah itu ia kembali di anak tirikan, iya kan?.”
“ Bukan begitu, barangkali mereka merasa tidak nyaman kalau harus berbasah-basahan seperti kau sekarang ini ketika mereka melakukan aktifitas. Barangkali mereka takut sakit dan akhirnya tak bisa melakukan kegiatan rutinnya.”
“ Itu juga tidak adil menurutku. Panas juga bisa menyebabkan sakit. Bukan hanya sakit kepala, tapi juga kanker kulit. Apa kau pernah mendengar kanker kulit disebabkan oleh hujan?.”
“ Aduh, susah sekali, sih berdebat denganmu. Jalan pikiranmu itu ruwet. Kau benar-benar laki-laki aneh. Entah kenapa aku bisa mencintaimu, “ ujar si perempuan dengan wajah cemberut.
“ Ya, karena aku aneh.”
Alasan inilah yang selalu dikatakan laki-laki itu setiap kali ada orang yang bertanya kenapa ia suka sekali mandi hujan.
…………………….
Pagi itu seperti biasa ia datang ke kantor dengan pakaian yang basah kuyup, sehingga air yang menetes dan merembes dari sepatunya membasahi lantai kantor dari front office sampai ke ruangannya. Kantor masih sepi ketika ia tiba, padahal sudah hampir pukul sembilan.
“ Barangkali masih terjebak hujan, pak. Saya juga tidak bisa pulang, padahal saya sudah lelah sekali, pak.” Kata seorang sekuriti yang kebetulan berjaga malam.
Membuang-buang waktu, gumamnya dalam hati. Apakah aktifitas harus terhenti ketika hujan datang?. Hujan atau tidak hujan sama saja, bukan? waktu terus berdetak. Semakin lama hujan turun, semakin banyak hal yang kita lewatkan kalau kita harus menunggunya reda. Mana kegilaan orang-orang yang selalu mengatakan waktu adalah uang, sehingga mereka tak ingin kehilangan satu detik pun. Tapi sekarang, lihat, mereka seakan-akan mati. Hanya gara-gara hujan?. Apa yang mereka takutkan dari hujan?. Tidak masuk akal.
Tuhan telah menciptakan dunia ini dengan keseimbangan. Tujuannya tentu saja agar kehidupan semua makluk di bumi berjalan dengan sempurna. Ada siang tentu ada malam. Ada baik tentu ada buruk. Ada keras tentu ada lemah. Hilang salah satu unsur saja, koordinasi gerak hidup pasti akan mengalami ketimpangan. Begitu juga dengan panas dan hujan, mereka adalah satu kesatuan yang membuat hidup kita seimbang. Jadi mustahil untuk memisahkan keduanya. Kita harus mulai belajar menyukai hujan seperti kita menyukai panas. Ini cuma permasalahan persepsi. Kita selalu merasa segan untuk beraktifitas kala hujan, karena kita selalu merasa risih dengan sifat basahnya. Kita risih bertemu orang, masuk kantor, atau duduk di dalam angkutan umum dengan pakaian yang basah kuyup dan air yang menggenangi sepatu kita. Padahal itu kan hal yang wajar. Sifat air memang basah. Apa yang salah dengan itu?. Orang lain yang melihat kita basah kuyup kala hari hujan juga pasti maklum. Kita saja yang terlalu membesar-besarkan. Lain halnya kalau kita basah kuyup saat hari sedang terik-teriknya, itu baru aneh.
“ Hai, sayang!” ujar laki-laki itu dengan pakaian yang basah kuyup di depan pintu rumah sang kekasih pada suatu malam.
“ Kau gila! untuk apa kau datang kemari? hujannya, ‘kan deras sekali.”
“ Ah, tidak biasa saja. “
“ Dasar gila! ayo cepat masuk, biar ku ambilkan handuk untukmu. “
Si lelaki bergegas masuk ke ruang depan, sementara kekasihnya pergi ke belakang untuk mengambil handuk.
“ Aku menganggumu, ya?. “
“ Tidak. “
“ Memangnya kau tadi sedang apa?.”
“ Nonton berita.”
“ Berita apa?.”
“ Banjir dan tanah longsor.”
“ Kau pikir kenapa semua ini bisa terjadi, sayang?.”
“ Bagaimana tidak! wong, hutan-hutan banyak yang gundul karena pembukaan lahan yang sembarangan dan tidak teratur, penebangan liar. Belum lagi sungai, kali, bahkan bendungan, semuanya kotor dan dipadati sampah. Satu lagi, daerah-daerah resapan air banyak yang berubah fungsi menjadi lahan pemukiman, Mal, Cafe, Apartemen, dan lain sebagainya. Ah, manusia semakin lama semakin tidak bertanggung jawab. “
“ Masuk akal.”
“ Memang begitu!”
“ Tapi dalam pandanganku, semua ini disebabkan karena hujan marah pada kita.”
Mendengar hal ini si perempuan melengoskan wajah.
“ Hei! dengarkan aku dulu. Gundul tidaknya hutan, bersih tidaknya sungai, berfungsi tidaknya daerah resapan air, kalau hujan mengamuk dan menurunkan air dengan intensitas yang banyak dan tak terkendali, banjir dan longsor akan terjadi juga. Kau tahu, kan walaupun tenang air bisa meyebabkan kerusajan yang dahsyat. Tapi sebaliknya, walaupun hutan gundul, sungai dan daerah resapan air tidak berfungsi dengan baik, kalau hujan berbaik hati dengan menurunkan air sebatas tanah bisa menyerapnya, sebatas sungai mampu menampungnya, aku rasa kecil kemungkinan bencana-bencana ini terjadi. Itulah sebabnya aku selalu bilang, kita harus mulai belajar mencintai hujan. Setiap kali datang kita sambut dia dengan senyum ramah dan ucapan syukur yang tulus, bukan malah memanggil pawang hujan untuk memindahkannya, mengumpatnya, mencaci makinya dengan kedongkolan dan muka yang masam seakan-akan dia adalah anak haram yang tidak ...”
“ Sayang, stop! Bisa tidak kamu hentikan pandangan konyolmu tentang hujan dan segala tetek bengeknya itu, aku pusing. Ini keringkan rambutmu!,” kata si perempuan sambil menyodorkan sehelai handuk pada laki-laki itu.
“ Kau benar-benar laki-laki aneh!.”
“ Tapi kau mencintaiku,kan?. Siapa yang aneh kalau begitu?.”
Begitulah, laki-laki itu tetap pada pandangannya tentang hujan yang aneh, konyol, bahkan gila bagi kebanyakan orang. Tapi ia tidak peduli, hujan tidak pernah menghalanginya beraktifitas. Masuk kantor, pulang kantor, berkencan, dilakukannya dalam suka cita, dengan pakaian yang basah kuyup dan kecipak air dari sepatunya. Berjalan dengan gerakan sempurna, dengan tangan masuk ke dalam saku, dan bersenandung lagu kesukaannya, just walking in the rain ...
……………….
Malam itu, seperti malam-malam lain hujan turun dengan derasnya. Di dalam kamar laki-laki itu memandangi aliran air yang turun dari balik kaca jendela dengan pandangan kecewa, sebuah syal melingkar di lehernya. Hujan malam ini benar-benar indah, betapa menyenangkan jika aku bisa berjalan di bawahnya, merasai cumbuannya di tiap senti tubuhnku, gumamnya. Menyaksikan pendarnya diantara lampu-lampu jalan ...
telepon berdering, seketika itu juga lamunannya buyar.
“ Hallo!,” sapanya dengan suara serak dan malas.
“ Kau tidak datang?.”
“ Hujan.”
“ Ah! tumben, biasanya kamu tidak pernah takut dengan hujan?.”
“ Aku demam.”
“ Kenapa?.”
“ Terlalu banyak mandi hujan.”
“ Oooo ... begitu.”
“ Kenapa bukan kamu saja yang kemari, sayang.”
“ Wah ... maaf sayang, rasanya aku belum cukup gila mengikuti jejakmu mandi hujan malam-malam. Sudah, ya, cepat sembuh.”
Telepon di tutup. Laki-laki itu tersenyum sembari merebahkan dirinya di kasur. Terdengar lagu lain di radio, “listen to the rytm of falling rain”
14/02/06
Cerpen-cerpen Berkaitan
Semua cerpen-cerpen Lain-laincerpen-cerpen lain
Perbualan
Perbualan
-
1) orang-orang merindukan hujan karena ia bisa menyembunyikan airmata sendiri... :p
ola hadi, sorry baru baca nih cerpen-nya. bagus! :D- _theRain_
- 16 years ago
-
2) thank's Zu. eh katanya mo bikin antologi puisi, ya? ikutan dong gimana caranya?
- Hadi
- 16 years ago
-
3) ya iya lah, hadi. sekalian tribute untuk rumah lama kita, cybersastra itu doang. ntar diskusi lanjut. tapi antologi itu untuk puisi, bukan cerpen. eh ketemu minke? suruh dia ke sini dunk.
kayanya yang meramaikan di sini, cuman anak2 k.com dan buma aja nih. ngpp. sip lah, zu tunggu kalian...
:)- _theRain_
- 16 years ago