Bau Hujan

 

Bau Hujan

 

Pagi-pagi buta. Melalui lubang jendela. Aku merasakan ada sesuatu yang masuk dengan lembut. Terlihat tirai jendela yang selalu terbuka, tersibak pelan, lalu sesuatu itu sampai di hidungku. Baunya sangat khas. Bau hujan. Aku kenal betul dengan wanginya. Meskipun ia sudah lama tidak menyapa, tetapi aku tidak akan melupakannya. Karena aku menyimpannya di sebuah kotak rahasia di kepalaku ini. Setiap kali wangi itu datang, aku langsung dibawa pada sebuah tanah merah berbunga-bunga. Sangat indah. Di bawahnya, tertidur dengan manis seorang putri cantik. Aphrodite.

 

Dia baru saja diselimuti gaun putih. Dimandikan bunga tujuh rupa. Hingga ketika aku mencium tubuhnya, tercium begitu harum. Dibaringkan di atas kamar barunya yang sempit. Terbuat dari kayu warna coklat yang sudah dipernis. Terlihat halus. Pas sekali dengan ukuran tubuhnya. Wajahnya terlihat tetap cantik. Seperti sedang tersenyum. Menenangkan kepada siapapun yang merindukannya. Sepertinya ia sedang bicara dengan sangat pelan kepada telinga-telinga yang merindukan suaranya,”Ssssttt....Araku, semuanya baik-baik saja kan....”

 

”Aphrodite..., aku tidak tahu. Apakah aku ini baik-baik saja atau tidak. Sulit sekali membedakannya....”

Aphrodite. Gadis manis yang aku ajak bicara itu tidak berbahasa. Dengan tenang ia terus tertidur. Tak berbeban. Sepertinya. Tak bernafas. Pastinya. Gaun yang ia kenakan selaras dengan kulit putihnya. Pucat. Mirip sekali dengan kelopak cempaka. Wangi. Cantik. Aku belum bisa melukiskan banyak. Hingga detik dimana bau hujan masih mencemari kamarku. Aphrodite tetap tak terlukiskan. Terlalu sederhana jika aku menuliskannya di selembar kertas.

 

Aphrodite.... Aphrodite...!

 

Musim panas di tahun 2004. Sudah lama tidak turun hujan. Hampir enam bulan. Tanah-tanah berdebu. Begitu pun dengan jalanan yang aspalnya sudah menguap. Usiaku sudah genap pas 25 tahun. Pas saatnya untuk menikahi seorang gadis manis. Anak seorang pemilik perkebunan coklat. Dia adalah Aphrodite. Pencinta coklat. Baginya, dunia hanya memiliki satu warna. Coklat! Kalau ia diberi kesempatan oleh Tuhan ingin apa, ia pasti meminta kulit, mata dan rambutnya diubah menjadi warna coklat. Bahkan kalau bisa, ia ingin dunia ini hanya mengenal satu warna, yaitu coklat. Ketika aku bertanya kenapa harus coklat, ia mengosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang bercampur dengan bubuk coklat, lalu ia dekatkan telapak tangannya ke hidungku. ”Coba cium,” katanya. ”Wangi apa?” Tanyanya serius.

”Wangi coklat,” kataku.

Lalu ia menyodorkan sebatang coklat hasil olahan perusahaan keluarganya. Nama perusahaannya sama dengan namanya, |Aphrodite|. Namanya diambil sebagai nama perusahaan karena ia anak pertama dan satu-satunya, juga anak yang lahir bersamaan dengan panen pertama ladang coklat milik keluarganya.

”Cicipi,” katanya.

Aku mencicipi coklatnya. Ini coklat pertama yang ia berikan semenjak perkenalanku di ladang coklatnya seminggu lalu. Ketika aku ingin memetik salah satu buah coklatnya yang sudah matang. Bukan memetik, tetapi nyolong tepatnya!

”Mmm...Manis...” kataku ketika coklat seukuran dua sentimeter kali dia sentimeter masuk ke dalam mulutku.

”Manis?” Aphrodite bertanya.

”Manis.”

”Itulah kenapa aku ingin dunia ini hanya mengenal satu warna, coklat! Harum dan manis. Karena dunia tidak bisa, maka cukup aku saja yang serba coklat. Seperti ini...” Ia menunjuk ke dirinya sendiri dengan baju serba warna coklat. Dari atas hingga bawah. Semuanya warna coklat. Kecuali kulitnya, terlihat putih. Sementara mata dan rambutnya sedikit kecoklatan. Nyaris mendekati coklat. Itu Aphrodite. Dewi Coklat!

Sementara aku..., aku hanya anak seorang bandar gula merah. Gula merah hasil olahan dari pohon Aren. Orang tuaku memberi nama Ara. Ara si anak bandar Aren. Terkadang ada juga yang memanggilku Aren. Tetapi aku lebih suka orang-orang memanggilku cukup dengan Ara. Ara! Kecuali kalau tidak ingin memanggilku dengan Ara, silakan panggil Aren. Aku tidak akan marah. Ara atau Aren.

”Ara. Aku lebih suka memanggilmu Ara. Lebih simpel.” Aphrodite tersenyum ketika aku memberitahu namaku. Sesaat setelah aksi menyolong coklatku gagal total karena ia kebetulan sedang berjalan-jalan.

 

Ladang coklat itu sangat luas. Orang-orang bilang luasnya sekitar 500 hektar lebih. Jadi, kalau aku mengambil salah satu buahnya di sudut ladang, orang pasti tidak akan tahu. Rupanya perkiraanku meleset. Buktinya, aku dipergoki empunya ladang coklat. Apes!

Namun, karena pencurian gagal itulah aku berkenalan dengan pemiliknya. Aphrodite. Perkenalan yang berlanjut pada rencana pernikahan. Membutuhkan waktu dua bulan dari waktu pencurian hingga acara pernikahan. Ini akan menjadi acara pernikahan terbesar di desaku. Mempertemukan dua keluarga besar. Bandar gula dan pemilik ladang coklat! Seluruh desa sudah tahu itu. Tetapi mereka tidak tahu rahasia kecil yang terjadi di tengah ladang coklat.

 

Setelah mengenalnya selama sebulan, aku sering mendatangi rumah Aphrodite. Rumahnya unik. Hampir seluruh bahan rumahnya terbuat dari kayu. Kecuali fondasinya yang terbuat dari baja. Orang tuanya pun sangat baik. Sama baiknya dengan orang tuaku yang bandar gula merah itu. Bedanya, ayah Aphrodite berkumis tebal, sementara ayahku berkumis tipis. Beda lainnya adalah, ayah Aphrodite selalu membawa senapan pemburu babi. Ia menyelendangkannya di punggung. Senapa babi digunakan untuk berburu babi di ladang coklatnya atau untuk mengusir maling coklat yang kerap kali merugikan panennya.  Sementara ayahku hanya membawa belati kecil kemanapun ia pergi, kecuali tidur. Katanya untuk berjaga-jaga kalau ada apa-apa. Sekaligus untuk mengiris kecil ujung gula merah dari petani-petani Aren. Untuk mengecek kualitas gula merahnya baik atau buruk. Ayahku ahlinya. Jangan meragukannya!

 

Sehari menjelang pernikahan, hari Sabtu tepatnya, di sore hari yang cerah. Seperti biasa, aku dan Aphrodite berjalan-jalan di tengah ladang. Di tengah ladang terdapat tempat istirahat. Terbuat dari kayu dengan atap dari ijuk. Mirip bale-bale kecil, biasa disebut saung. Temboknya terbuat dari kayu setinggi 30 cm. luasnya saungnya sekitar 3x3 meter. Saung ini tempat istirahat yang sepi. Jauh dari intaian mata siapapun. Kecuali mereka yang dengan sengaja mengintip orang berpacaran di tengah ladang coklat seluas lebih dari 500 hektar. Bodoh namanya!

”Bulan madu kita nanti di sini,” kataku dengan nada bercanda.

”Apa! Orang-orang sedesa pasti sudah siap-siap di balik pohon coklat untuk mengintip kita!”

”Mereka akan rugi sendiri.”

”Kamu ngaco!” Aphrodite sedikit kesal. Di usianya yang ke 23 nanti pas hari pernikahan, ia terlihat masih seperti anak-anak ABG kalau sedang kesal. Bibirnya cemberut. Tidak menjadikannya terlihat kesal bagiku, tetapi terlihat lebih cantik dan menggoda. Aku selalu menahan diri agar tidak terjebak ke dalam kecantikannya. Hanya menunggu waktu sehari lagi. Waktu yang sebentar, kan? Sedikit ciuman di bibirnya yang cemberut dan di pipinya yang halus, sudah cukup membuatnya luluh dan tersenyum sambil membalas ciumanku.

”Aphrodite...”

”Ara...”

”Aphrodite...”

”Ara...”

”Aphrodite...”

”Ara...”

Ritual memanggil nama dengan bisikan di telinga. Saling bergantian. Ritual yang akan selalu aku dan Aphrodite lakukan sampai tua nanti. Aku tidak mengerti awalnya. Baru mengerti setelah aku melakukannya dan merasakan bisikan lembut Aphrodite di telingaku. Nafas hangatnya, suara lembutnya dan sentuhan bibirnya di telinga, membuat deras aliran darah di seluruh tubuh.

”Ara...” bisiknya.

”Aphrodite...” bisikku.

”Ya...”

”Aphrodite...”

”Ya, Ara...”

”Aku mencintaimu...”

”Ara...”

”Ya...”

”Tutup mata...”

 Aku melakukan permintaannya.

”Buka mata...” bisiknya.

Aku membuka mata. Aku melihat Aphrodite-ku membuka ikatan rambutnya. Ini pertama kalinya aku melihat rambutnya digerai. Selama ini Aphrodite selalu mengikat rambutnya. Pernah suatu kali aku meminta menggerai rambutnya. Ia tidak pernah mau, sekalipun aku sudah mencopot ikatan rambutnya. Ia bilang suatu saat nanti juga bisa melihatnya.

”Tutup mata...” bisiknya.

Aku menutup mata lagi.

”Buka mata...”

”Aphrodite...?” tanya ku heran.

”Tutup mata...” bisiknya lagi.

Aku tidak menuruti kemauannya.

”Ara...., tutup mata...” bisiknya sedikit memohon.

Aku menutu mata sedikit lama karena ia belum memintaku membuka mata lagi.

Tidak lama Aphrodite berbisik lagi,”Buka mata....”

”Aphrodite...?”

”Sssttt.....,” katanya sambil menempelkan jari di bibirnya. ”Pelan-pelan, Ara. Aku belum pernah melakukannya.”

”Aphrodite...?”

”Ssstt.....”

”Seminggu lagi kita menikah...”

”Ssstt.....” Aphrodite menempel jarinya di bibirnya yang merah terkena matahari sore yang menerobos masuk melalui celah daun-daun coklat.

Aku menarik menurunkan tangan dari bibirnya. Lalu mengecupnya. Seperti coklat. Wangi dan manis.

 

”Aphrodite...” bisikku.

”Ara...” ia membalas bisikanku dengan sangat lembut. Semakin lama bisikkan itu semakin pelan. Lalu hilang perlahan.

 

Matahari hampir hilang ketika aku dan Aphrodite pulang menuju rumahnya dengan mengendarai jeep tua milik ayahnya. Giliran aku menyetir jeep bodong menuju pulang. Dalam perjalanan, aku mendengar suara tembakan senapan pemburu babi. Suaranya terasa sangat dekat. Pasti babi-babi mulai mendatangi ladang. Ayah Aphrodite mungkin sedang mencoba mengusirnya. Aku melihat ke sebelah kananku. Aphrodite tersenyum. Senyum yang manis, sayangku. Lalu tembakan kedua terdengar lagi. Aphrodite teriak sambil memegang dadanya yang berdarah.

”Aphrodite...?”

”Ara..., sakit...”

”Aphrodite! Jangan bercanda!” teriakku kesal.

”Ara..., ini peluru nyasar...”

Darah di tangannya. Darah di baju coklatnya. Mengalir deras. Kekasihku, Aphroditeku, sayangku, bertahan sayangku. Sore itu aku memacu jeep butut dengan kecepatan seperti orang kesetanan. Tetapi Aphroditeku sudah terbang di tengah jalan. Menuju awan-awan yang waktu itu sedang disiram senja tipis dari sisa-sisa matahari yang siap mati.

 

Dia Aphroditeku. Dia Rosemary. Dia sekuntum Lili. Dia coklatku. Dia adalah apapun bagiku. Dia, Oh!  Aphroditeku. Bangun, sayangku. Bangun. Sebentar saja. Aku ingin berbisik pelan di salah satu kelopak mawar putihmu, sebelah kanan, ”Aphrodite..., kita akan menikah besok ketika senja dari balik bukit muncul. Lalu kita akan mengikatkan diri dengan perak, yang di dalamnya sudah dipahatkan nama kita oleh si tukang pahat dari desa seberang. Aphrodite + Ara. Manis sekali, bukan? Lalu orang-orang akan menari riang di tengah lapangan. Merayakan pernikahan kita. Aphroditeku...”

 

Aphrodite sudah bisu. Di bawah taburan bunga-bunga dan siraman dari botol-botol Aqua dan botol-botol sirup ABC berisi air putih, dia tertidur dengan lelap dan tidak akan pernah bangun lagi. Ketika pesta air mata itu sudah bubar, hujan perlahan menaruh perhatian kepada tanah gersang dan merah. Setitik, dua titik, dan banyak titik. Hujan turun di tanah gersang. Membangkitkan bau khas. Bau hujan menyentuh tanah. Hmmmm...beruntunglah kekasihku yang sedang tertidur karena hujan menyiraminya. Sekaligus menghapus jejak air mata pria yang turun turun berjam-jam.

 

”Aphroditeku...” bisikku sambil mencium bau hujan dari balik jendela kamar yang terbuka lebar. Sementara hujan turun tidak terlalu deras di pagi buta, tetapi cukup membawaku ke sosok gadis manis, si pencinta coklat, Aphrodite. Meninggal dunia sehari sebelum pernikahanku dengannya berlangsung. Ia meninggal karena tertembak senapan pemburu babi. Tepat di jantungnya oleh sang ayah tercinta. Seminggu kemudian, ayahnya meninggal di rumah sakit karena terkena serangan jantung, ibunya menyusul dua minggu kemudian. Aku sendiri berjalan mengikuti arah kaki dengan cincin pernikahan menempel di jari manis sebelah kanan. Cincin dengan pahatan nama Aphrodite. Sementara cincin dengan pahatan Ara dikenakan di jari manis Aphrodite. Ia sudah membawanya ke tempat ia tertidur dengan tenang di bawah pohon coklat yang aku tanam sebelum pergi dari desa tersebut. Meninggalkan semua kenangan hidup. Aku sudah menguburkannya sebagian.

 

Tetapi bau hujan seringkali mengantarkan aku ke ladang coklat dan Dewi Coklat. Putri cantik, wangi dan manis. Aphroditeku tersayang.

 

Selamat tidur, putriku...

 

 

::son of mount malang::

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Cinta

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account

  • 1) heee... udah zu komen tuh lewat ym kemaren.

    sama... :D
  • 2) nice nice nice! Agak perlu dibedakan di awal cerita, antara bau hujan dan wangi hujan, kok rasanya beda sekali.. he he he.. selebihnya nice.. :)

  • (Penulis)
    3) Hihihihihi
    Iya
    Sudah diedit, postingan di sini belum diedit...
    Maklum buru-buru:P


    ::son of mount malang::

  • 4) Kisah yang indah dibaca saat bau harum hujan menebar dimana-mana... terasa nyata adanya...

Cerpen-cerpen lain nukilan novelty

Read all stories by novelty
No stories.