Kekasihmu
Tersebutlah wajah lain dari terangnya siang, kau mungkin menyebutnya dengan sebutan malam. Dia membawa segenggam rasa tenang dibalik galaunya kegelapan yang seolah tanpa henti mengendap-endap dari balik sesemakan untuk mencekikmu tanpa kau sadari.
Dia juga membawa dingin menyengat, menyelimuti hamparan padang rumput, batang-batang pepohonan besar dan sungai jernih memantulkan bayangan rembulan, tempatmu biasa termenung menunggu bintang yang paling terang untuk muncul. Tapi kau tidak peduli padanya, pada malam itu.
Kau berjalan sepanjang tepi aliran sungai, tak merasakan dingin sekalipun kau tidak memakai alas kaki. Napasmu berderak-derak, dingin yang menyusupi jemarimu membuat dadamu sesak. Tapi sekali lagi, kau tidak peduli. Kau tetap berjalan, mendekap tubuhmu dengan jubah berbau apak, satu-satunya yang bisa kau temukan di pondok reyot tempatmu dan ayahmu Si Tukang Kayu tinggal.
Kau merasa hangat, sekaligus dingin. Gelenyar perasaan bahagia semakin membuatmu bersemangat dan lagi, kau melangkahkan kaki ke tempat dimana dataran menjorok ke sungai, tempatmu biasa menghitung waktu bintang yang paling terang muncul.
Lolongan serigala terdengar dari salah satu sudut hutan membuatmu tertegun sejenak, kau menengadah memandang langit, kemudian melanjutkan perjalanan kembali sembari menyikap gaunmu, berlari. Perasaanmu semakin senang, gembira yang meluap-luap membuncah dalam dadamu. Rasa rindu, hangat, lalu berubah menjadi debaran yang terlarang.
Tak lama, kau sudah tiba disana, di tempatmu biasa menunggu bintang paling terang bersinar. Napasmu terengah mengeluarkan asap putih dan tanganmu basah karena keringat dingin. Matamu yang semula terbuka lebar kemudian meredup, menampilkan sorot rindu yang begitu dalam. Perlahan kau menurunkan tudungmu, menampilkan kemilau rambut pirang panjang kebanggaanmu. Dan kau, dengan segenap hati, melangkahkan kaki menghampiri makhluk bersayap yang sekarang ini berdiri di tempat biasa kau menunggunya.
Makhluk itu bukanlah kaummu, manusia. Dia memang sama tingginya dengan lelaki tegap di desa asalmu, memakai baju hitam pekat yang menonjolkan otot-ototnya. Mungkin ketampanannya jauh melebihi pangeran di negrimu, sekalipun kau tidak pernah sekalipun mendapati sorot mata merahnya lumer hangat. Atau mungkin rambutnya sama seperti hitamnya rambut ayahmu ketika muda dulu, agak panjang dan selembut sutra. Tapi kedua sayapnya yang hitam seperti gagak membuatmu gemetar. Kau menyebutnya malaikat bersayap hitam, iblis kekasihmu.
“Terlambat,” gemuruh kekasihmu, dalam dan membuatmu nyaris berjengit. Suaranya dalam dan menekan, tanpa sedikitpun terdengar nada senang karena bertemu denganmu.
Kau menggigit bibir bawahmu, gemetar. Rasa takut menjalari nadimu, membuat debaran terlarang itu semakin keras. “A-aku tidak... Maaf...” katamu mencicit ngeri.
Kekasihmu memandang sosokmu dengan mata merahnya yang menyala, jahat dan membuat dadamu semakin sesak akibat debaran terlarang itu. Dia mendekatimu, tersenyum seolah mengolok-olokmu dan merengkuh tubuh mungilmu dalam pelukannya.
“Sudahlah..” bisik kekasihmu, suaranya terdengar indah dan menggodamu. Dia tersenyum, memandangmu dengan mata merahnya yang berkilau bagai batu ruby lalu mencium lehermu mesra. “Aku tahu kau merindukanku.”
Kau diam, merasakan wajahmu panas dan semakin merona merah tak, tak sanggup mengakui apapun lagi karena memang begitulah adanya. Lepas dari bayang-bayang siang sahabatmu, kau rengkuh dalam gelapnya malam kekasihmu. Memikirkannya, membuatmu marah pada dirimu sendiri sekaligus takut. Kau takut pengkhianatanmu kelak akan berbalik menyerangmu.
“Bagaimana khabar sahabatmu?” tanya kekasihmu mengejek, tanpa menutup-nutupi perasaan jijiknya. Rupanya dia tahu apa yang kau pikirkan. Oh, dia memang selalu tahu. Dimanapun, bagaimanapun, apapun yang kau lakukan dan pikirkan.
“Masihkah makhluk tolol bersayap putih itu tinggal dalam bangunan kosong dan membersihkan patung Tuhan-nya dengan ludah?” tanyanya lagi.
“Dia masih berada di gereja itu,” sahutmu menghela napas banyak-banyak sebelum menjawab, berusaha mengabaikan rasa jengkelmu terhadapnya sekalipun gagal menahan mulutmu.
Jemari kekasihmu menyusuri garis tubuhmu, menyusup masuk ke dalam sela-sela rambut kemudian mempermainkanmu dengan kecupan dingin dan sapuan napasnya di kulitmu. Kekasihmu tertawa.
“Kau ingin membelanya, Sayang?”
“Tidak,” katamu membuang wajah.
“Kuyakini itulah dusta terbesarmu.” Kekasihmu menyeringai jahat, memamerkan gigi-giginya yang putih. Dia merasa menang dan memegang kendali atasmu. Kau ingin melawan pesona dan omongan buruknya, tapi kau sadar kau lemah. Kau hanya bisa pasrah dalam permainannya. Bodohnya dirimu!
“Si bodoh bersayap putih,” dendang kekasihmu memainkan jemarinya di udara. “Sahabat kekasihku, musuh terbesarku. Diantara kami berdua siapakah yang kelak akan meregang nyawa? Aku yang menikam perutnya ataukah dia yang menghujam jantungku dengan pasak?”
Rasa jengkelmu kembali, mengusikmu dengan amarah dan ketidak berdayaan. Bayangan-bayangan mengerikan mulai terbentuk dalam benakmu. Kematian sahabatmu atau kematian kekasihmu, Si Makhluk bersayap hitam itu selalu mendendangkannya bagai lagu yang indah. Memuakkan.
“Hentikanlah,” ujarmu lemah.
“Kenapa, Sayang? Kenapa?”
Kau mengatupkan rahangmu kencang-kencang, sedih dan terluka akibat nada kekasihmu yang mengolok-olok sahabatmu. “Tidak akan ada pertumpahan darah diantara kalian berdua,” jawabmu penuh keyakinan.
“Begitukah, Sayang?” alis kekasihmu bertaut penuh rasa tertarik lalu tertawa. “Kupikir dunia telah benar menyebutku sebagai makhluk hina yang penuh tipu muslihat dan serakah. Tapi dunia salah. Ternyata kekasihku jauh lebih serakah dariku.”
Hujatannya membuatmu gemetar. Kau sudah terlalu terbiasa dengan kata-kata kasarnya, namun perkataannya yang satu itu membuatmu terbakar amarah. Serakah katanya? Bukankah apa yang kau inginkan ini begitu mulia? Sahabatmu, kekasihmu, berdua mereka bisa saling membuka diri dan tertawa denganmu. Apa yang serakah dari hal itu?
“Kau.... jahat,” katamu dengan suara bergetar, menatap tajam kedua mata merahnya. Amarahmu terlampau besar melebihi rasa takut dan cintamu terhadapnya.
“Itulah aku,” bisik kekasihmu kembali merengkuh tubuhmu dalam pelukannya. “Aku yang jahat. Aku kekasihmu, yang kau cintai.”
Lolongan serigala terdengar kembali dari salah satu sudut hutan. Lolongannya membuat bulu kudukmu meremang, jauh lebih menyakitkan dan membuat luka di hatimu semakin dalam. Kau tahu, secepatnya pengkhianatanmu akan berbalik menyerangmu. Lalu kau menangis. Terisak dalam pelukan kekasihmu, hancur bahkan sebelum segalanya dimulai.