Nyanyian Ambigu

  • 2
  • Lumia
  • 15 years ago
  • 4,145
  • FREE

 

Gemerisik dedaunan pohon-pohon masih terus terdengar. Mengancam. Sesuatu yang disampaikan oleh angin membuat binatang-binatang yang berada di hutan bergerak resah mencari perlindungan kemudian membisu setelah mereka menemukan tempat berlindung yang hangat. Seolah menunggu bagian terburuk dari badai hilang dan berharap agar apapun itu yang membuat hutan resah segera berlalu.

Jauh di pedalaman hutan, sebuah bangunan besar dikelilingi pagar besi berdiri kokoh menjulang ke atas langit. Batu-batuan yang membentuk tubuh bangunan itu berwarna abu-abu dan pucat, mengesankan kekuatan serta keagungan yang tak terikat dengan tanah dunia. Dari situlah terdengar derit memilukan pagar besi, Kiel Sanctuary.

Bunyi derit pagar besi semakin keras ketika angin melewati tempat itu, membawa dedaunan kering yang tersebar di halaman luas Kiel Sanctuary berputar-putar dalam pusaranya dan masuk ke dalam, melewati celah-celah sempit. Angin itu bergerak perlahan, menyusuri lorong-lorong gelap dan sepi Kiel Sanctuary, membawa keresahan yang sama seperti yang disebarkannya di seluruh hutan.

Namun diantara keresahan angin itu, sesuatu lain ikut terbawa. Bau yang aneh, seperti campuran logam besi dan garam, menutup-nutupi sesuatu dibalik aromanya yang menggiurkan. Memuakkan. Bau itu semakin kuat ketika angin melewati sudut-sudut gelap ruangan, berputar dan memecah saat bertemu dengan dinding kokoh dan akhirnya membuat gadis itu terjaga.

Gadis itu merintih pelan, pelupuk matanya bergerak-gerak seturut kesadarannya kembali melebur dalam raganya. Dia merasakan rasa sakit mengiris seluruh tubuhnya saat gadis itu mencoba untuk menggerakkan tangannya dan bangkit berdiri kemudian terjatuh tak berdaya.

Matanya yang berwarna emas membelalak lebar. Dia terkejut mendapati tubuh-tubuh rekannya bergelimpangan di sekitar tubuhnya. Berdarah dan tak bernyawa, tubuh-tubuh itu mengaliarkan aliran sungai darah yang bermuara di hadapan patung pemujaan Dewa Pencipta Eins membentuk kolam darah.

Air matanya jatuh membasahi pipi gadis itu yang kotor karena debu dan darah kering, seturut ingatan-ingatannya kembali. Bagaimana teriakan bergema di ruang pemujaan, bagaimana kepala pendeta membentaknya dan para calon pendeta lain untuk tetap di asrama, dan bagaimana pembunuh itu merobek jantung sahabatnya.

Pembunuh itu. Ingatan terakhirnya membuat gadis itu gemetar ketakutan. Mungkinkah pembunuh itu masih berada di tempat ini, menunggu korban terakhir jatuh dan pergi menertawai jeritan para korbannya? Tapi gadis itu mengeraskan hatinya, tidak mungkin hanya dia yang tersisa. Pasti ada seseorang lain selain dirinya yang selamat di antara gelimangan tubuh-tubuh tak bernyawa ini. Pasti.

Gadis itu menyeret tubuhnya yang berdarah penuh luka, membuat pakaian kuning gading yang membalut tubuhnya semakin merah karena darah rekan-rekannya. Sesekali dia berhenti dan terisak ketika bertemu muka dengan kepala rekannya atau tubuh tercabik pendeta. Tapi dia terus menyeret tubuhnya sampai akhirnya dia menyerah, kehabisan tenaga dan menangis. Menangisi kematian rekan-rekannya, kesendiriannya, rasa sakitnya.

Bunyi langkah kaki bergaung semakin mendekat, membuat gadis itu tersentak. Seketika cercah harapannya muncul kembali. Dia mengangkat tubuh lemahnya dengan susah payah, menggantungkan harapan pada sudut tergelap ruangan itu, tempat darimana suara langkah kaki berasal.

Seorang lelaki berpakaian hitam dengan rantai-rantai yang bergemerincing di sekeliling tubuhnya muncul dari balik kegelapan. Lelaki itu memiliki rambut keperakan yang bercahaya. Kulitnya putih seperti berpendar dalam kegelapan ruangan. Tubuhnya tinggi dan kekar, memancarkan ketangguhan yang tidak manusiawi. Dan matanya berwarna biru elektrik tanpa kilat-kilat kehidupan, menatap gadis itu dingin.

Lelaki itu berdiri di hadapannya, menggenggam kepala seorang pendeta kemudian melemparkannya begitu saja di lantai. Kepala itu menggelinding, memercik darah ke rambut keemasan gadis itu, bergoyang pelan sampai akhirnya berhenti.

Cahaya harapan itu padam, menikam jantungnya dengan keputusasaan. Tubuh gadis itu bergetar, dia kembali menangis. Entah dia menangisi ketakutan terbesarnya menghadapi pembunuh itu atau kengerian menatap mata biru kematiannya yang tanpa cahaya.

“Kumohon,” dia merintih dalam tangisnya, menundukkan wajah. “Jangan bunuh aku.”

Detik berikutnya, terdengar bunyi derak yang memilukan. Tubuh gadis itu mengejang, kemudian lunglai ke lantai tak bernyawa. Pedang besar lelaki berpakaian hitam itu menghunus tepat ke jantungnya.

Kematian menghapuskan segalanya. Kematian meninggalkan jejaknya pada lirik ambigu nyanyian pelepasan. Nyanyian yang tak pernah dimengerti. Nyanyian ambigu, yang ikut terbawa oleh angin, yang membisikkan kata-kata penghiburan bagi mereka yang terjatuh dalam kesengsaraan. Nyanyian itu memenuhi ruangan tempat gadis itu terbaring dalam kuasa kematian, berputar-putar dalam pusara, menyentuh relief dan kemudian meninggalkan lorong-lorong Kiel Sanctuary bersamaan dengan suara lolongan penuh kepedihan.

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Eksperimen

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account

  • 1) yah masuk... kamu memang pintar mengolah cerita. mantap!

  • (Penulis)
    2) Makasih sudah baca ^^

Cerpen-cerpen lain nukilan Lumia

Read all stories by Lumia