Tentang Selena dan Rengga
Suara-suara itu keras, bergaung, saling bersahutan satu sama lain. Padahal fajar belum sepenuhnya tiba, tapi mereka tetap tidak peduli. Mereka seperti memiliki jiwa ayam, bangun pagi-pagi buta untuk berkokok—atau meneriakan sumpah serapah, lebih tepatnya.
Kurasa aku gila.
Dinding kamarku bergetar hebat ketika terdengar bunyi brak! yang keras. Sebuah benda berat jatuh. Mungkin kursi, atau meja, besar kemungkinan komputer. Aku menarik selimut, mencoba menutupi kepalaku yang sebelumnya sengaja kututup dengan bantal.
Ini lebih baik.
Suara-suara itu tidak hilang, hanya berubah menjadi dengungan. Tetap mengganggu. Tapi ini lebih baik, aku mengingatkan pada diri sendiri sekali lagi. Kamarku masih gelap gulita ketika akhirnya aku mulai terbiasa dengan suara dengungan itu, sampai akhirnya alarm handphone-ku berbunyi. Rasa takut dan cemas dengan mengejutkan mengaliri nadiku, seperti tersengat listrik. Cepat-cepat aku menyambar handphone dan mendiamkannya.
Suara-suara keras itu berhenti.
“...aku pergi,” sayup-sayup aku mendengar suara papa yang membuatku menahan napas, nadanya ketus, kemudian bunyi derit kursi dan terakhir, gebrakan pintu.
Bunyi yang terakhir membuatku terlonjak kaget kemudian terkulai lemas ketika kicau burung mendadak terdengar nyaring dari jendela kamarku.
Sunyi yang sama setelah suara-suara itu pergi, inilah pagi-ku.
Buru-buru aku bangkit dari tempat tidur, berniat membuka tirai jendela. Tapi rupanya kegelapan kamarku membuatku tidak bisa membedakan mana jalan yang benar. Aku tersandung meja pendek tempatku biasa menggelar tugas-tugasku dan jatuh, lututku berdarah.
“Sakit...” kataku lirih, meringis perih. Tanpa di sangka-sangka aku menangis.
Ini benar-benar pagi yang sama seperti kemarin, hari sebelum kemarin dan dua hari sebelum hari ini. Maksudku, benar-benar sama. Aku terbangun pagi-pagi buta akibat suara-suara itu, tersandung meja dan menangis.
Kenapa ini harus selalu menjadi ritual pagiku? Kenapa dalam lima belas tahun waktuku hidup di dunia ini bersama dengan mereka, ingatan akan suara-suara keras itu tidak pernah hilang?
Aku lupa aku pernah mempunyai keluarga. Jelas, mereka bukan keluargaku. Keluarga tidak selalu membentak anak-anaknya kan? Keluarga tidak selalu memecahkan gelas, piring, televisi atau layar komputer kan?
Pertanyaan-pertanyaan yang sama, rasa sakit yang sama, dan seluruh pikiran gila yang sama menghantuiku kembali. Aku benci rumah ini, sungguh. Brengsek! Bahkan ketika seluruh kebencianku meruncing seperti sekarang, aku masih memanggilnya rumah. Ironis sekali, batinku pahit.
Kicau burung terdengar lagi, membuatku tersadar. Aku mengusap pipiku yang basah asal-asalan pada gaun tidurku dan dengan merintih pelan, berdiri sembari bertumpu pada dinding.
“Pagi,” sebuah sapaan menyambutku persis setelah aku membuka lebar-lebar jendela kamarku.
Jantungku mencelos.
Seorang lelaki, rambut hitamnya acak-acakan dan wajahnya kuyu dengan lingkaran hitam di bawah kedua matanya, menguap lebar seraya melambaikan tangannya padaku. Dia memakai piama bergaris-garis biru yang agak kebesaran untuk tubuh kurusnya. Tapi tetap, sekalipun dalam kondisi yang mengenaskan itu, Rengga selalu menyapaku.
Aku buru-buru menundukkan muka. “Pagi...” sahutku serak, kemudian kembali pada kesibukan merapikan tirai jendela kamarku.
“Rumahmu selalu ramai, ya,” celetuk Rengga menguap lebar. Kepalanya diletakkan di ambang kusen jendela.
Sejenak tanganku membeku, tapi aku tidak menjawab perkataan tetanggaku itu. Lebih tepatnya, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Bisakah aku berkata dengan ringannya rumahku ramai karena papa dan mama terlibat argumen, lagi? Atau mungkin aku berbohong pada Rengga bahwa hal itu Cuma khayalannya semata?
Yang benar saja, kata suara kecil menyebalkan di kepalaku. Rengga bukan orang tolol yang bisa kukelabui semudah itu. Kami sudah bertetangga selama nyaris dua belas tahun terakhir. Hebat kalau aku bisa membohongi lelaki itu tentang keadaan rumahku yang berbeda.
“Len,” panggil Rengga.
“Y-ya? Kenapa, Ga?”
Rasanya Rengga ingin mengatakan sesuatu tapi sesuatu yang lain membuatnya mengurungkan niatnya. Akhirnya dia hanya mengatup-ngatupkan mulut dan menghela napas keras-keras.
“Nevermind,” desahnya. “Cuma mau bilang kamu harusnya siap-siap. Nanti kesiangan.”
Rengga tersenyum. Kedua bola matanya yang berwarna coklat hangat itu teduh dengan kelembutan yang membuat pelupuk mataku membendung air matanya kembali. Dia memang baik, bahkan Rengga terlalu baik untukku. Berkali-kali mata itu menampilkan sorot kelembutan yang nyata, satu-satunya yang kukenal berbeda dari tatapan teman sekelas atau bahkan keluargaku sendiri.
Saat ini, aku berharap waktu bisa berhenti.
Tapi bodoh benar permintaanku itu. Sekitar dua menit kemudian, suara Tante Hermawan terdengar memanggil Rengga. Tetanggaku itu buru-buru menyahut lalu menyudahi pembicaraan singkat denganku.
Aku menghela napas panjang. Berbalik menuju kamar mandi sambil tertatih-tatih, mengutuk mulutku yang tidak bisa mengeluarkan kata-kata cerdas ketika berbicara dengan Rengga. Cukup banyak waktu yang kuhabiskan di kamar mandi, jelas, karena setelah aku keluar dan berusaha mengeringkan rambutku, sinar matahari sudah benar-benar menyinari kamarku.
Buru-buru aku menyampirkan tas, merapikan baju seragam seadanya dan berjalan menuruni tangga. Suasana sepi masih menyelimuti rumahku. Papa sudah berangkat kerja daritadi dan mama, dari dugaanku, mengurung diri di kamar. Mungkin tenggelam dalam lautan keping DVD kesayangannya.
Dan mereka meninggalkanku sendirian di rumah ini.
Akan lebih mudah bagiku sebenarnya, untuk tidak memasukkan segala macam beban itu dalam pikiranku. Aku sering mencobanya, sekalipun gagal. Tapi ini jauh lebih baik dibanding waktu-waktu pertama kedua orangtuaku menghadapi argumen mereka.
Papa tenggelam dalam pekerjaannya dan Mama, seperti yang diketahui oleh nyaris seluruh teman sekelasku, mengidap penyakit. Banyak orang yang bilang Mama gila karena dia selalu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mama mengurung diri di kamar, menolak berbicara padaku dan Papa. Terkadang Papa merasa tertekan dan akhirnya memancing argumen antara keduanya.
Seperti pagi ini.
Aku menggerling jam tanganku dan dengan cepat menyambar gelas kosong. Tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha. Aku bisa makan di sekolah, pikirku. Jadi aku membuka kulkas, mengisi gelasku dengan susu dan menegaknya banyak-banyak.
Aku melangkahkan kaki menuju pintu, menarik gerendel pintu dan terkejut mendapati sebuah motor merah terpampang jelas di depan pagar rumah.
“Lama amat,” gerutu Rengga mengerutkan keningnya, mencibir dari atas tunggangannya itu.
“Kok kamu...?”
“Nih, Mamaku nitip bekal,” Rengga menyodorkan kotak makan di hadapanku. “Dia bilang menunya hari ini kesukaan kamu. Jadi makannya gak boleh sisa.”
“Eh...? Ma-makasih,” ujarku pelan, menaruh hati-hati kotak bekal itu di tasku.
Derum rendah mesin motor terdengar kemudian. “Ayo naik. Salah-salah kita telat lagi,” kata Rengga dari atas motor.
“Gak usah, Ga,” sergahku cepat. “Kamu jalan duluan aja. Aku bisa naik angkot sendiri.”
Rengga mendecapkan lidah tak sabar. “Ngaco. Lutut begitu mau maksa jalan?”
Aku terdiam, jantungku mencelos. Dia sadar, batinku.
Derum mesin motor Rengga semakin kencang seolah menuntutku untuk segera naik. Tanpa sadar, air mataku jatuh. Ada sebuah perasaan aneh, pelan-pelan menyusup ke dalam hatiku dan membuat leherku tercekat.
Tangan Rengga mengelus kepalaku perlahan, membuat tangisanku semakin deras.
“Ayo, naik,” kata Rengga lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut.
Dan kami segera meninggalkan rumahku, menuju sekolah.
Cerpen-cerpen Berkaitan
Semua cerpen-cerpen Cintacerpen-cerpen lain
Perbualan
Perbualan
-
1) Agak aneh rasanya ketika melihat kata "sekolah" karena karakter yang dibawakan sudah terlalu dewasa (rasanya). Mengenai hal lainnya sudah sangat baik. Maaf baru memberi komentar ya..
- cassle
- 15 years ago
-
2) Makasih sudah baca ^^
Dewasa di bagian mananya kah?- Lumia
- 15 years ago
-
3) karekter Rengga itu kale yang dimaksudkan cassle lho...
tapi itu bisa jadi, toh pembawaan dan pola pikir yang keliatan dewasa banget itu ujud sedari kecil saja. haha ;p- _theRain_
- 15 years ago