KEPUTUSAN
Malam sudah hampir berganti pagi, tapi pelupuk mata Irma malah belum juga tenggelam. Sayu, kembali menatap cermin lebar di seberang ranjang tempat ia duduk sambil memeluk lutut. Mencoba menangkap sebuah bayang dalam gelap dan berandai lengannya cukup teguh menaut rengkuhan. Tiada lampu menyala dalam kamar tidurnya yang wangi mawar. Hanya cahaya bulan purnama yang sebentar lagi pamit, mengintip dari jendela kamar yang terbiarkan terbuka. Berkawan sunyi.
Masih tersisa hangat air mata Hani dalam pelukannya tadi sore. Hanya sekilas. Hani bukan tipe perempuan yang membiarkan dirinya lama berkubang air mata. Setidaknya tidak di depan orang lain. Orang lain? Irma menghela nafas. Irma sudah bukan lagi orang lain bagi Hani. Persahabatan mereka telah terjalin sejak awal masuk dunia kampus.
Hani, perempuan pekerja sekaligus ibu dari seorang gadis kecil manis usia 7 tahun bernama Ami, cepat-cepat menghapus sisa air matanya. Air mata yang jatuh di dada kiri Irma menyerupa pulau kecil di blus merahnya.
“Kapan kau menyadari perselingkuhan Fahmi?,” tanya Irma. Hani sudah kembali menegakkan posisi duduknya. Wajahnya menyisakan sesak yang baru saja tumpah. Tangannya menerima tisyu yang disodorkan Irma, lalu dilipat-lipatnya kembali. Hanya itu. Air mata Hani telah kering. Terlalu cepat mengering.
“Kira-kira sebulan ini,” jawab Hani. “Dan aku tak peduli. Aku juga punya seseorang lain di hatiku. Kau tahu itu. Masih ada cinta di hatiku untuk Dion. Hubungan kami pun masih mesra seperti masa kuliah dulu”
Hani dan Dion. Kisah cinta pertama yang entah kapan akan usai. Perbedaan ras dan agama memenjara cinta dalam bilik perselingkuhan yang mereka sepakati. Juga kesepakatan Dion untuk tidak menikah hingga kini. Membiar diri terdampar dalam angan dan harap akan suatu masa. Masa yang entah kapan akan tiba. Sia-sia menyadarkan dua sejoli yang dimabuk badai cinta. Akal sehat hanya angin sepoi yang hilang.
“Fahmi tahu kalau kau sudah tahu?,” tanya Irma lagi.
“Sepertinya begitu. Terkadang seakan dia memang ingin memberitahu. Membalas dendam atas perselingkuhanku sendiri,” jawab Hani, lebih seperti tuduhan. “Tak terasa, hampir 10 tahun aku ditiduri laki-laki itu, Irma. Lumayanlah. Hahaha..” sambungnya lagi sedetik kemudian seraya tertawa. Tawa yang hambar.
Fahmi dan Hani menikah atas dasar perjodohan, bukan karena cinta. Tapi, bukan sedikit kasih yang dicurahkan Fahmi untuk Hani, terlebih lagi buat Ami, gadis mungil mereka. Paling tidak, ia berusaha bertanggungjawab atas pernikahan yang sudah terjadi. Dan, Hani?
Hani tak pernah memperkenalkan Fahmi pada Irma. Bahkan sampai pada hari Hani melangsungkan pernikahan. Saat itu, ia sedang dinas di salah satu pelosok hutan Kalimantan Timur dan tidak mendapat izin pulang walau hanya beberapa hari. Yang ia tahu hanyalah rencana kepindahan mereka ke Jakarta. Selepas hari itu pun, Hani tak pernah mengirimkan gambar-gambar pernikahan mereka. Keesokan harinya, saat Irma mengucapkan selamat lewat telepon, alih-alih bercerita tentang pernikahan, Hani malah bercerita panjang lebar tentang malam panjangnya bersama Dion seminggu sebelum akad dilangsungkan. Hingga kini pun, Hani ternyata tak pernah menyimpan foto suaminya di dompet, hanya foto Ami. Seperti tidak ada upayanya untuk melupakan Dion dan mengenali Fahmi lebih dalam.
Hampir 10 tahun, batin Irma berbisik. Laki-laki itu, begitu Hani menyebut suaminya. Bukan Fahmi, atau suamiku. Rasa tak nyaman di telinga Irma.
“Aku tak mengerti, Han. Bila kau tak mencintai Fahmi, dan masih menjalin hubungan dengan Dion. Lalu, kenapa tadi kau menangis? Maaf, aku mengenalmu sejak lama. Kau memang makhluk keras kepala. Kini kau bisa mengajukan cerai pada Fahmi. Dia berhak untuk memiliki cinta juga, kan? Mungkin setelah sekian lama, ia akhirnya menemukan perempuan yang mencintainya, dan dicintainya sekaligus. Dan kau pun, bisa lebih leluasa dengan Dion. Kau sendiri pernah bilang, biar dosa kalian telan berdua asal bisa bersama. Iya, kan?” ujar Irma. “Kau harus buat keputusan yang lebih adil, Hani.”
“Ami. Ia sangat dekat dengan ayahnya.” Seakan tak mendengar kata-kata Irma, Hani menyebut nama anaknya lirih.
“Jadi? Kau sudah pertimbangkan perceraian itu?”
“Iya.” Kepala Hani menunduk, tangannya meremas-remas tisyu hingga jadi serpih-serpih kecil. “Sebelum ini, aku perlu alasan untuk menceraikan laki-laki itu. Dia tak kunjung ceraikan aku. Padahal aku sudah nyata-nyata punya hubungan dengan Dion. Dia tahu perselingkuhan kami sudah sejak lama. Aku rasa, dia bertahan karena Ami, anak kami.”
Kegalauan itu tak lagi sembunyi di balik dinginnya ucap dan tatap. Malah merebak dan berteriak lantang lewat tubuh yang semakin surut. “Tadinya aku kira aku sudah dapatkan alasan untuk itu.”
Hening, hanya desau angin sore. Irma terdiam, tak tahu mesti berkata apa.
“Ternyata, alasan dia untuk bertahan juga menjadi alasanku kini, Irma. Demi Ami,” sambung Hani lagi.
“Artinya, kau akan memutuskan hubungan dengan Dion? Demi pernikahanmu? Demi Ami?”
"Tidak.”
Jawaban singkat Hani membuatnya bertambah bingung. “Aku tak mengerti, Hani. Kenapa kau berbuat seakan Fahmi itu laki-laki jahat? Dia laki-laki baik dan setia. Apakah kau tak pernah melihat bagaimana ia telah berusaha membahagiakanmu? Kau pikir, dia mencintaimu sedari awal, bahkan kini? Dia pun tak memulakannya dari cinta. Kalian kan sama-sama dijodohkan.” ucap Irma, gusar. “Kau egois, Hani. Harusnya kau pikirkan juga perasaan Fahmi. Segala keperluan lahir batinmu dipenuhinya.”
“Batin?” Mata Hani menatap Irma tajam. Sudut bibirnya menyungging sinis. “Dia bisa menolak pernikahan itu, Irma. Aku sampai menyembah-nyembah demi ia bersedia untuk menolak perjodohan itu. Tapi, demi warna darah keluarga besar kami, ia memilih untuk mengabaikan pintaku. Dia jahat! Dia tahu aku sangat tak peduli dengan semua itu! Dia tahu aku hanya cinta Dion!” Suara Hani meninggi. Wajahnya merah menahan geram. Tangannya kini mengepal kencang.
“Maaf, aku tak bermaksud buat kau marah. Aku tak suka cara kau perlakukan Fahmi. Kau boleh anggap ini bukan urusanku. Tapi aku sahabatmu. Aku sayang kamu, Hani.” Suara Irma menggetir.
“Kau tak tahu bagaimana rasa ditiduri oleh laki-laki yang kau tak cinta.” Hani menghela napas. Menutup mata. Menampik gambaran dari pelupuk benaknya yang tiba-tiba mengkelebat.
Irma terpekur. Ia memang tidak tahu. Dadanya berat digantung berbatu-batu gundah. Rasanya ingin ia lewatkan saja adegan ini, kembali ke masa-masa di mana belum ada beban. Masa-masa kuliah yang manis. Buku, pesta, dan cinta di dekat danau kampus. Bertaburan cahaya oranye matahari sore yang hangat. Tak seperti sore ini yang terhalang gedung-gedung tinggi di tengah pusat kota. Hanya langit menggelap. Seperti hati Irma.
Hani mengangkat kepalanya. Tersenyum manis. “Kau tentu sudah mengira siapa yang aku bayangkan saat laki-laki itu menyentuhku di malam-malam hampir 10 tahun ini. Bayangkan, kewajiban yang satu itu akan ada yang mengambil alih. Total!”
“Maksudmu?” Irma tercekat.
“Demi Ami, aku rela dimadu. Hanya masalah waktu, Irma. Kelak, kalau Ami sudah besar dan mengerti cinta, kalau Ami sudah bisa diajak bicara antar perempuan, aku akan menerangkan semuanya walau kedengaran pelik. Ami memang bukan buah cinta. Tapi aku sayang dia teramat sangat. Ami adalah peri kecilku. Kehadirannya melukis senyum di hatiku. Membuatku lupa akan perih dan jijik saat pertama laki-laki itu menyentuhku.”
Irma tercekat. Bagai petir menghantam gendang telinganya. Tiba-tiba dunia bagai berhenti berputar. Gamang, bagai banjir bandang menenggelamkan tubuhnya, hingga ubun-ubun.
“Irma, kau sendiri bilang kalau Fahmi adalah laki-laki yang baik dan setia, bukan?” Hani menyentuh ujung jemari Irma yang dingin. Suaranya melunak, juga tatapannya. Ada rasa yang indah, sejuk membelai. Rasa yang jadi milik mereka selama belasan tahun. Irma membalas tatapan Hani, berharap binar indah itu juga ada di kedua bola matanya. Yang terlihat hanya mendung.
“Iya,” jawab Irma lirih hampir berbisik. Sentuhan Hani terasa hangat di kulit Irma.
“Perempuan itu pastilah beruntung.” ujar Hani lagi. Suaranya lembut. Kini, tangan kanannya menggenggam tangan Irma. Lengan kirinya merengkuh pundak Irma sembari sesekali membelai rambutnya yang tergerai lepas.
Kembali Irma hanya mampu terdiam. Roda waktu seakan diganjal kelu, membiar bungkam.
“Lusa ini, kau jadi pulang ke Batam?,” tanya Hani, tiba-tiba.
“Iya,” jawab Irma pendek.
“Kebetulan, lusa pun Fahmi ke Batam. Dia memang rutin ke Batam, paling tidak setengah tahun terakhir ini.”
Hati Irma jengah. Bibirnya bergetar ingin melepas kata-kata yang terpenjara.
Tiba-tiba, Hani memeluk tubuh Irma erat. Sesak yang tadi semerta datang kembali serupa badai di dada Hani. Irma dapat merasakannya, serupa talu yang memukul dadanya sendiri.
“Aku sudah tahu, Irma. Aku rela.” Lalu, Hani mencium pipi Irma dengan hangat air mata.
***
Setengah tahun lalu, Irma berkenalan dengan seorang lelaki dalam suatu kegiatan sosial di Batam. Kota masa kecil yang kembali jadi rumahnya setelah bertahun-tahun ditinggal merantau. Lelaki itu merasuk masuk hingga ke sudut hatinya yang terdalam. Menanam setunggal benih cinta sekelebat kilat. Ada yang selalu dinanti Irma setiap bulan sedang purnama. Fahmi.
“Hani Wulandari, itu nama istriku,” ucap Fahmi pelan. Tangannya mengusap air mata yang jatuh di pipi Irma. Lalu memeluk tubuh Irma erat. Ada kerinduan yang membuncah. Sepasang kekasih saling berbagi degup. “Dia tak pernah mencintaiku. Aku pun tidak.”
“Abang Fahmi..” Irma tersengal. Bibirnya hangat dipanggang bara kecupan, menghenti ucapan yang tergantung begitu saja.
“Secepatnya aku akan menceraikan dia. Dia pasti setuju.” Nafas Fahmi hangat membelai wajah Irma. “Aku mencintaimu, Irma. Aku akan menikahimu.”
Sebulan lalu. Semenjak itu, hari-hari Irma bagai kerlip bintang lampu-lampu Batam. Dari tebingan kota, malam bagaikan siang berpelangi dan ia mesti terjebak di simpangan langkah, tak tahu mesti berbuat apa. Bagaimana cara menyembunyikan cinta yang benderang?
“Hani Wulandari, itu nama istriku.” Kembali terngiang jelas. Sejelas hangat pulau kecil di blus merah Irma. Sejelas pelukan dan kecupan Hani. Air mata sahabatnya.
Malam sudah menjelma pagi. Sepagi sebuah keputusan.
Cerpen-cerpen Berkaitan
Semua cerpen-cerpen Cintacerpen-cerpen lain
Perbualan
Perbualan
-
1) wahhhhh.. cerita tentang kawan-kawan berkongsi suami ni. Seronoknya menjadi Dion, hehe
- jojo
- 17 years ago
-
2) cerpen ini bagus sekali... ;)
- _theRain_
- 17 years ago
-
3) Haha.. Takdalah yang saling berkongsi..
Irma kan belum tentu menerima lamaran Fahmi. Dan Dion? Dia hanya terpenjara dalam pelukan Hani. Kesemuanya merasakan perih yang beda2. Pun ada yang paling kasihan adalah Ami..
Inti dari kisah ini ada pada kata 'keputusan' itu sendiri. Manusia berpindah dari satu titik keputusan ke keputusan lain. Berganti kisah.. :)
Terimakasih Jojo n Zu.. Mmuah..- elang
- 17 years ago
-
4) nice story. :)
- moesafeer
- 17 years ago
-
5) Terimakasih, Moesafeer.. Salam kenal.. :)
- elang
- 17 years ago
-
6) pada saya cerita ini menakutkan.
btw, ceritanya bagus..penceritaan yg klise..=)
- nurie
- 17 years ago
-
7) Mmmm.. Memang menakutkan..
Bayangkan kalau kita jadi salah satu tokohnya.. #:-S- elang
- 17 years ago
-
8) nak boleh kasih saran
titik harusnya berada setelah tanda prtik
"xxxxxxxxxx".
thank's- pujangga
- 16 years ago